6 (enam) Alasan kuat kenapa kita harus menolak FREEPORT

Di tengah rencana pemerintah memperpanjang bercokolnya Freeport mengeruk emas di Papua, hizbut tahrir Indonesia (HTI) dengan tegas menyatakan enam alasan stop eksploitasi tambah emas di Papua oleh Freeport. “Memang benar, hizbut tahrir itu tidak ambigu dengan stop Freeport!” ujar Juru Bicara hizbut tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto dalam Halqah islam dan Peradaban (HIP) Edisi 59: Stop Freeport! Kembalikan Kekayaan Milik Rakyat, Rabu (21/10) di Gedung Joang 45, Jakarta.

Pertama, fakta Kontrak Karya (KK) II yang ditandatangani 1991 berakhir 2021. Jadi kalau sudah berakhir, berakhir sudah. “Kenapa kita jadi susah begini. Ibarat orang ngontrak di rumah kita, begitu selesai, selesai sudah. Jadi mengapa kita harus menuruti kehendak orang yang ngontrak,” ungkapnya di hadapan sekitar seratus peserta.

Kedua, dari semula Freeport melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. UU tersebut mensyaratkan paling lambat lima tahun setelah UU tersebut diundangkan perusahaan tambang harus mempunyai smelter. Artinya, akhir 2014 Freeport harus sudah punya smelter. Tapi sampai sekarang, belum punya juga.

Ketiga, ini yang substansi, dengan dikelola sendiri, tambang emas di Papua bisa membiayai apbn yang cuma 2000 trilyun itu tanpa harus memajaki uang receh rakyat.

Ismail pun memberikan berbandingan meski apbn sekarang nampak naik 20 kali lipat dari apbn 1997-1998 yang hanya sekitar 100 trilyun itu, sebenarnya bila dihitung emas, tetap hanya 4 juta kilo gram saja (emas per gram sekitar Rp 25 ribu pada 1997-1998 dan sekitar Rp 500 ribu pada tahun ini).

“Kan sama. Tetapi karena emasnya itu kita lepas dan kita pegang rupiah, maka kemudian pemerintah itu susah sekali untuk mendapatkan 2000 trilyun sampai menggunakan jurus orang mabuk tersebut,” bebernya.

Keempat, ini yang paling penting, “bahwa tambang emas di Papua itu milik kita, milik rakyat, bukan milik mereka (Freeport). Milik kita, ya milik kita, mereka apa urusannya? Kalau mereka marah itu wajar, karena mereka sudah puluhan tahun menikmati harta kita,” tegasnya.


Jadi, mainset terhadap masalah ini bukan lagi bisnis dengan bisnis (B to B) tetapi ini soal politik. “Saya fikir orang-orang seperti Ivo Morales dan Huga Chaves adalah orang-orang yang bisa memberikan contoh kepada kita secara nyata bagaimana saat ini berhadapan dengan kapitalis global. Kapitalis global juga ngancam-ngancam ke Bolivia serta Venezuela tapi Morales dan Chaves tetap mempertahankan prinsipnya dan kapitalisme global tidak bisa apa-apa,” ungkapnya.

Kelima, kalau tambang tersebut dikelola oleh Freeport karena alasan Indonesia tidak punya modal, itu juga tidak bisa diterima. Freeport dulu juga tidak punya apa-apa, dia mendapatkan modal dengan menjadikan kandungan emas di Papua sebagai agunannya.

Nah, investasi yang akan digelontorkan Freeport untuk 2021-2041 sebesar USD 18 milyar atau sekitar 180-200 trilyun. Itu kan kurang lebih sekitar 400 juta gram. Sementara di tambang Grasberg itu terdapat 740 juta kilo ton emas. Jadi duit 200 trilyun itu kecil, bank-bank BUMN bisa meminjamkannya.

Keenam, masalah skill. Memang betul diperlukan teknologi tinggi tetapi itu untuk pertambangan di Afrika yang tambangnya 3 kilometer di bawah permukaan tanah, tambang di Indonesia tidak serumit itu. “Orang-orang Indonesia sudah lebih dari cukup memiliki skill, yang bekerja di Freeport itu kan orang Indonesia semua, yang bule itu kan cuma Moffett doang! Apa alasannya kita bilang tidak mampu secara teknik,” pungkasnya.

Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib (keynote speaker); Effendi Simbolon (Fraksi PDIP DPR RI); M Hatta Taliwang (Direktur IEPSH) dan Marwan Batubara (pengamat pertambangan).


Post : lemahirengmedia.com 
Semua artikel bersifat dinamis karena sewaktu-waktu akan mengalami perubahan data/sumber/analisa dan lainnya demi keakuratan dan obyektifitas informasi.

Tidak ada komentar

Copyright © . Lemahireng Info All Right Reserved -
Diberdayakan oleh Blogger.