Karyawannya Muslim, Pembelinya Muslim, Ngapain Dipakein Atribut Natal?

“HADEEUHH, heran deh ane, Bray…”
“Napa emangnya?”
“Iya itu, bentaran lagi mau natal, dimana-mana udah berasa bangat suasana natalnya…”
“Lha, emangnya nggak boleh ya?”
“Bukannya nggak boleh, Bray… Tapi kok kayaknya ada banyak pihak yang nggak perhatian sama perasaan kita-kita sebagai Muslim di negeri ini…”
“Maksudnya gimana, Bro?”
“Ya coba aja, sakit bangat kita nih sebagai Muslim liat sodara-sodara kita dipakein baju sama topi natal.”
“Ah ente aja itu mah yang kelewat sensitif. Mereka-mereka aja yang dipakein baju kayak gitu bisa jadi nggak kenapa-kenapa, malah mungkin bisa jadi juga seneng karena dapet uang saku tambahan dari tempat mereka bekerja…”
“Nah, itulah dia Bray, ane sakit tuh bukan cuman oleh mereka yang karena punya modal maksain orang-orang Islam pake atribut natal di waktu kayak gini, tapi juga karena sodara-sodara kita sendiri, yang mungkin karena nggak tahu, karena takut, karena mau dapat uang tambahan itu, jadinya ya mau aja pake baju-baju kayak gitu.”
“Coba deh, Bro liat, bukannya pas waktu lebaran, semua mall dan pertokoan juga dihiasi dengan atribut lebaran?”
“Beda, Bray…”
“Beda apanya?”
“Pertama, ketika lebaran, yang dipakein baju muslim atau atribut lebaran ya karyawan-karyawan yang emang muslim juga. Kedua, perusahaan-perusahaan dagang itu landasannya ya pasar dan momentum. Seumpamanya di India, pasti deh, disesuaikan dengan apa yang terjadi di situ juga. Misalnya simbol-simbol Hindu dan Budha diagung-agungkan.”
“Terus kalau di kita?”
“Nah, ketika momentum Natal, nggak serta-merta hal itu berlaku sama. Karena bagi seorang Muslim, mengikuti dan meniru suatu kaum itu berarti menjadi bagian kaum itu pula. Beda misalnya, kalau yang jadi karyawannya nonmuslim, pasarnya nonmuslim, seperti di negara-negara Eropa, ya memang musti begitu, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
“Oh…?”
“Ente tau, Bray… Di luar negeri, dimana muslim hanya minoritas, ketika Idul Fitri atau Idul Adha, tak ada ruangan untuk merayakan atau menunjukkannya. Jika pun ada apresiasi, ya itu pun sedikit bangat. Bahkan tidak sampai terdengar… Ente pernah ke Danau Toba?”
“Ya di Sumatera Utara itu?”

“Yap. Ane pernah ke situ sekali. Ane nyari-nyari masjid, nggak ada. Setelah tunya-tanya, ternyata emang masjid nggak boleh didirikan di situ karena emang Muslimnya sedikit. Itu kita terima, walau tidak kita pahami. Sedangkan gereja, bisa dengan mudah berdiri di mana aja di negeri ini.”

“Ini apa hubungannya sama atribut natal ini gimana, Bro?”
“Ya itu tadi, jelas bangat lah Bray, bahwa banyak pihak yang sama sekali emang sengaja kali, nggak memperhatikan perasaan dan keyakinan umat Islam yang besar di negeri ini.”
“Toleransi, Bro..”

“Toleransi adalah memberikan ruang kepada pemeluk agama lain untuk melakukan ibadahnya dengan tenang. Bukannya menyuruh, apalagi bikin peraturan dimana orang yang bekerja padanya, musti mengenakan atribut yang bertentangan dengan aqidah keyakinannya. 
Toh, ini negeri Muslim, karyawan Muslim, yang belanja juga kebanyakan Muslim… apa masalahnya jika tidak musti mengenakan atribut natal?”
“Ente kayaknya nggak ridho ya ada orang lain hidup di negeri ini?”
“Jangan berburuk sangka begitu, Bray. Ayo kita melangkah bareng-bareng, bangun negeri ini. Namun dalam masalah ritual dan keagamaan, hendaknya kita bisa saling menghormati, saling memahami, bahwa kami, umat Islam, hidup bukan hanya sekadar hidup, bukan hanya sekadar bekerja, tapi ada aturan secara Syar’i yang emang sudah ditentukan dari sananya.”(islampos)
----- INDONESIA MILIK ALLAH -----
 "Media lokal yang menggali dan mengangkat potensi masyarakat bawah"

Tidak ada komentar

Copyright © . Lemahireng Info All Right Reserved -
Diberdayakan oleh Blogger.