Outsourcing.. bukti nyata pemerintah menginjak-injak hak kaum buruh

Pemborongan pekerjaan (OUTSOURCING) adalah pemborongan PEKERJAAN melalui Perusahaan Pemborong pekerjaan dengan management terpisah mempunyai alat kelengkapan kerja sendiri dan tenaga kerja sendiri.

Penerapan sistem kerja Outsorcing dengan melakukan pendekatan modal dan Investasi yaitu "pasar tenaga kerja yang fleksibel" (flexible labour market), Dimana Pengusaha mengejar keuntungan yang sebesar besarnya, terhindar dari kewajiban-kewajiban, serta dan membayar upah buruh semurah mungkin. 

Karena sistem outsourcing, memberi kemudahan bagi perusahaan, untuk mencari pekerja/buruh dengan upah murah, dan bila pengusaha tidak membutuhkannya maka akan mudah untuk dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Sistem kerja Outsourcing yang diatur dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, menempatkan buruh/pekerja sebagai “sapi perahan”.

Desakan penolakan sistem kerja Outsourcing terus menerus dilakukan oleh para buruh/pekerja. Tetapi Pemerintah dan DPR RI tetap “Ngotot” untuk mempertahankan sistem kerja Outsourcing tersebut. dan diperparah lagi keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi. Lembaga kehakiman yang bertugas mengawal konstitusi, melalui putusannya No. 27 Tahun 2011 tentang pengujian pasal-pasal outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, memutuskan outsourcing tidak bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh .

 

Setelah itu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, mengeluarkan Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Bukannya menghapus dan menghilangkan praktik kerja outsourcing. Menakertrans semakin melegalkan sistem kerja Outsourcing. Ini membawa kerugian bagi para pekerja/buruh dan serikat buruh/pekerja.

Ironisnya , "Virus" Sistem Kerja Outsourcing tidak hanya “merasuki” di perusahaan swasta, namun juga sudah “menggerogoti” perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti di PT. Pertamina, PT. PLN (Persero), PT. Telkom, PT. ASDP, PT. Askes, PT. Merpati, PT. Jasa Marga, PT. Indofarma, PT. Gas Negara, PT. Petro Kimia Gresik, PT. KAI (Persero), dst.

Dengan adanya sistem kerja Outsourcing tersebut, maka yang dirugikan kerugian langsung adalah para pekerja/buruh dan serikat buruh karena
  1. Mendapatkan upah sangat rendah, karena perusahaan jasa penyedia melakukan pemotongan terhadap upah pekerja/buruh dari perusahaan pengguna; 
  2. Tidak ada kepastian kerja karena dikontrak terus menerus;
  3. Menimbulkan diskriminasi dengan pekerja/karyawan tetap, karena adanya perbedaan gaji; 
  4. Pekerja Outsourcing sangat rentan mengalami Pelanggaran hak-hak normatif, berupa; Jamsostek, pensiun dan cuti tidak diberikan.
  5. Pekerja Outsourcing dapat di PHK sewenang, sehingga kebebasan berserikat bagi pekerja/buruh outsourcing akan terlanggar.
Oleh karenanya, tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa sistem kerja Outsourcing bentuk perbudakan , yang mana perbudakan sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. karena perusahaan penyedia jasa pada dasarnya menjual manusia kepada perusahaan pengguna (user), hal ini jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan : 
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”., 
Dengan demikian Sistem Kerja Outsourcing haruslah dihapuskan dengan membatalkan Pasal 64-66 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
SIAPA PELETAK KEBIJAKAN OUTSORCING di indonesia?

Di Indonesia, regulasi itu bernama Undang-Undang No. 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK 13/2003. Undang-Undang tersebut merupakan Undang-Undang yang melegalkan/mengesahkan/ membenarkan sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia.

 Dengan adanya UUK 13/2003, kaum pengusaha tidak perlu takut ketika ingin menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing di perusahaannya. Dengan kata lain, mereka dilindungi negara melalui UUK 13/2003 tersebut. UUK 13/2003 ini merupakan bukti bahwa negara melalui pemerintah dan DPR telah sepenuhnya berada di sisi pengusaha dan berlawanan dengan kaum buruh.
Adapun Undang-Undang no.13 tahun 2003 tersebut disahkan pada saat PDIP berkuasa, di mana ketika itu Megawati (Ketua Umum PDIP) menjabat sebagai Presiden RI.
 Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa pemberlakuan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menyengsarakan kaum buruh ini adalah salah satu dosa besar PDIP terhadap kaum buruh Indonesia. Jadi, kalau sekarang PDIP terkesan mendukung Mogok Nasional kaum buruh untuk menolak outsourcing dan upah murah, maka hal itu patut dicurigai oleh kita. Karena dulu adalah mereka yang mengesahkan UUK no. 13/2003, yang melegalkan sistem kerja kontrak dan outsourcing di Indonesia.

 Outsourcing perbudakan gaya baru

Konon kabarnya ide penerapan sistem Kontrak Kerja Outsourcing muncul saat Indonesia menghadapi Krisis di tahun 1997, ide ini atas inisiatif World Bank dan IMF, dan ini merupakan bentuk tekanan kedua lembaga tersebut terhadap pemerintah Indonesia. Sebagai negara penghutang terbesar dan selalu butuh Hutang Luar negeri, tentunya pemerintah Indonesia tidak bisa menolak tekanan tersebut. World Bank dan IMF menekankan  sistem tersebut bukan tanpa kepentingan, sebagaimana kita ketahui negara ini banyak menampung investor asing.

Dengan adanya sistem outsourcing ini, perusahaan asing bisa mengemplang upah seminim mungkin tanpa perlu lagi memberikan berbagai tunjangan, dan perusahaan tersebut tidak bertanggung jawab terhadap buruh yang dipekerjakan, karena para pekerja menjadi tanggung jawab Agency Outsourcing yang mengelola kontrak kerja buruh dengan perusahaan. Sistem ini ternyata tidak saja berlaku pada perusahaan asing, perusahaan swasta lokal tapi juga sudah merambah ke perusahaan dibawah naungan BUMN.

Dengan penerapan sistem ini jelas buruh kehilangan berbagai haknya, bahkan kadangkala jam kerjanya pun tidak terbatas, melebihi waktu jam kerja tidak mendapatkan apa-apa, maka dari itu penulis melihat sistem ini samahalnya dengan sistem perbudakan yang dikelola dalam kemasan moderen, buruh diperas tenaganya namun hasil yang didapat tidak sesuai dengan apa yang dikerjakan. Alangkah tidak beradabnya kita memperlakukan manusia tapi tidak secara manusiawi. Prinsip ekonomi kapitalis, dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesarnya, inilah yang sedang diterapkan oleh pemerintah Indonesia.

Jadi sangat wajar jika para buruh di hari May Day ini melakukan pemberontakan dan menuntut hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Yang jelas sistem kontrak Outsourcing sangatlah tidak manusiawi, tidak akan mensejahterakan kehidupan buruh. Kalau pemerintah benar-benar berniat dan mempunyai perhatian terhadap kesejahteraan buruh, maka pemerintah harus menghapus sistem Outsourcing, karena sistem ini hanya memberikan keuntungan sepihak, perusahaan tidak perlu memikirkan berbagai macam tunjangan, dan karyawan yang tidak profesional selesai masa kontrak tidak lagi diperpanjang, tanpa perlu memberikan pesangon dan lain sebagainya.

Padahal amanat Undang-undang tidaklah demikian, pemerintah harus senantiasa berpikir untuk mensejahterakan kehidupan rakyatnya, dengan memberikan upah yang layak agar para rakyatnya yang bekerja dapat hidup layak dan sejahtera, dan rakyat pun dengan segala loyalitasnya pada pemerintah, membantu pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara. Dengan sistem outsourcing ini jelas antara  pekerja dan perusahaan terjadi gap, dan efeknya para pekerja menjadi tidak loyal pada perusahaan, dengan demikian kerja maksimal seperti yang diharapkan akan sulit untuk tercapai.
(berbagai sumber)
----- INDONESIA MILIK ALLAH ----- 
 "Media lokal yang menggali dan mengangkat potensi masyarakat bawah"

Tidak ada komentar

Copyright © . Lemahireng Info All Right Reserved -
Diberdayakan oleh Blogger.