Pilpres mendatang tetap Wani piro

Sekarang ini para politikus tengah berlomba mencari simpati rakyat agar bisa lolos ke DPRD, atau DPR RI, Senayan, Jakarta.
Mereka menebar senyum, kesantunan, dan menunjukan sikap yang seolah sangat peduli dengan rakyat. Mereka menunjukkan diri sebagai orang yang pintar-berkualitas, religius, idealis, dan antikorupsi.
Predikat haji, hajah, serta gelar akademis yang berjejer mereka pamerkan ke publik. Para politikus bak negarawan yang seolah prihatin terhadap kondisi negeri ini. Negeri yang makmur, kaya dengan sumber daya alam, tapi rakyatnya kesulitan ekonomi. Harga-harga membumbung karena para pengelola negeri yang ‘rakus’, tidak mampu mensejahterakan rakyat.
Mereka pandai beretorika, dan cenderung mencari keuntungan dari kekayaan alam negeri ini serta mengharap fee atas barang-barang impor. Rakyat dipaksa memenuhi kebutuhan hidup dengan produk-produk negara lain. Padahal, negara ini kekayaan alamnya melimpah, dan produknya pun tak kalah kualitasnya.
Para politikus itu hanya menjadi tukang ketuk palu (penyetuju) kebijakan yang ujung-ujungnya membebani masyarakat. Kini, mereka menebar pesona, memanis-maniskan senyum, menemui rakyat di rumah-rumah, mengumpulkannya di lapangan atau di balai-balai pertemuan untuk mengemis dukungan.
Baliho, stiker, dan spanduk mereka bertebaran di jalan-jalan, bertengger di pohon-pohon, bahkan di fasilitas umum yang mengotori keindahan kota dan desa. Mereka menjanjikan harapan kepada rakyat untuk memperbaiki keadaan bangsa ini.
Para politikus yang sebelumnya lupa, tiba-tiba ingat dengan masalah pendidikan berbiaya tinggi. Mereka mendadak berubah jadi sadar terhadap mahalnya buku-buku pelajaran yang selalu dibeli rakyat setiap memasuki tahun ajaran baru. Mereka mendadak berubah jadi perduli akan harga berobat yang mahal, dan rumah sakit yang sering tidak memberi tempat bagi orang miskin. Para caleg itu berjanji akan membawa aspirasi, dan berpihak kepada rakyat, serta akan menolak segala kebijakan yang membebani rakyat.
Pada musim politik ini mereka juga seakan berjiwa sosial, rela merogoh kocek hingga miliaran rupiah agar dipilih saat pemilu nanti. Membagi-bagi sembako, menyantuni anak yatim yang dikemas dengan kegiatan keagaman pun dilakukan. Jalan-jalan rusak diperbaiki. Membantu pembangunan rumah ibadah, dan mendekati pemuka masyarakat agar tujuan tercapai.
Namun, meski upaya-upaya itu dilakukan, tidak ada jaminan rakyat menjatuhkan pilihan kepadanya. Sebab, sebagian besar pilihan rakyat (grassroot) sangat ditentukan oleh seberapa besar kocek yang diberikan kepada pemilih. Biasanya, hal itu pada malam sebelum pencoblosan, yang biasa disebut dengan ‘serangan fajar’.
Maka, sudah menjadi pengetahuan umum, jika pasca pemilu banyak caleg yang stres, bahkan banyak yang menderita sakit jiwa sampai pada taraf gila. Kocek telah banyak dikeluarkan tapi tak berhasil mendulang suara. Impian mereka menjadi anggota legislatif yang bergelimang harta dengan segala fasilitasnya tidak terwujud.
Sementara itu, para caleg yang berhasil mendulang suara bersuka ria karena lolos menjadi anggota legislatif. Mereka kembali ke cerita lama; melupakan rakyat, dan berpikir bagaimana cara mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkannya itu.
Tekad dan janji para politikus kepada rakyat tak mereka wujudkan. Para politikus memilih menjadi pendukung kebijakan yang membebani rakyat dengan mengatas-namakan rakyat. Mereka patuh, dan loyal kepada partai bukan kepada rakyat. Inilah anomali yang normal dalam politik negeri kita.
Lainnya, partai politik selain menyiapkan kader-kadernya untuk bisa masuk DPRD, dan DPR RI, juga telah menyiapkan calon presidennya menjelang pemilu mendatang.
Kampanye capres 2014 setiap hari muncul di televisi. Mereka menjanjikan perubahan terhadap negeri yang tengah dilanda multi krisis ini. Bukan hanya perbaikan ekonomi, tapi juga memperbaiki krisis moral bangsa di antaranya mendukung pemberantasan korupsi yang kian mewabah.
Mereka juga sama dengan para caleg, memperlihatkan kepedulian, dan kesantunan kepada rakyat untuk mendulang suara. Para capres berharap partainya bisa lolos memenuhi syarat parliamentary threshold 20%, apalagi hingga mencapai 25% (presidential threshold). Kalau syarat 20% saja yang terpenuhi, peluang mereka bertarung dalam pilpres akan terbuka walaupun harus berkoalisi dengan partai lain.
Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun ini banyak memberikan pelajaran berarti bagi rakyat. Rezim penguasa selalu berganti, tetapi persoalannya tetap sama yaitu masalah ekonomi yang kian membebani rakyat. Karena itu, tak salah kalau pemilu nanti rakyat memilih karena duitnya yang lebih besar daripada melihat figurnya. Wani Piro (berani bayar berapa)???  [KbrNet/Inilah.com/adl]

----- INDONESIA MILIK ALLAH ----- 
 Lemdia.com (portalnya rakyat jelata) "Media lokal yang menggali dan mengangkat potensi masyarakat bawah"

Tidak ada komentar

Copyright © . Lemahireng Info All Right Reserved -
Diberdayakan oleh Blogger.