Jasa-jasa Ali bin Abu Thalib kepada dunia Islam

ALI adalah seorang yang zuhud dan sederhana.Anak dari paman Nabi Muhammad saw yaitu Abu Thalib, Beliau tidak senang dengan kemewahan hidup, bahkan menentangnya. Beliau adalah perwira yang cerdas, tangkas dan teguh pendirian dan pemberani.Sebelum wafatnya, Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib. Kata Nabi, “ Kamu ( Ali ) tidak akan mati melainkan dalam keadaan jenggotmu bersimbah darah.” Ali yang sangat mempercayai nabi itu hanya tersenyum. Senyumannya itu bermakna bangga. Karena sabda nabi itu bermakna bahwa Ali akan menjemput maut dalam keadaan Syahid- memperjuangkan Agama Allah.
Bermula dari syahidnya Sayyidina Utsman bin Affan yang ditikam ketika sedang bertilawah, prahara yang mengguncang peradaban Islam itupun semakin menjadi-jadi. Maka, setelah beliau dimakamkan, para sahabat berselisih paham. Ada yang mengusulkan untuk memberikan Qishash kepada pemberontak, ada pula yang mendesak agar segera dilantik Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman – khalifah ke-empat. Atas persetujuan para Ahli Badar yang masih hidup, maka Ali-pun dilantik menjadi khalifah. Ketika itu bertempat di masjid.

Selama menjabat, kepemimpinan Ali tidak pernah sepi dari makar. Makar ini bersumber dari si munafik, na’udzubillahi min dzalik, Abdullah bin Saba’. Isu yang ia gulirkan masih seputar kebatilan pemerintahan Ali. 

Hingga puncaknya terjadilah perang Jamal dan perang Shiffin-perang saudara dalam sejarah kecemerlangan Islam. Ulama’ salaf bersepakat untuk tidak membicarakan perang ini lebih jauh, karena hanya akan menambah fitnah. Pasalnya, meski para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum saling beradu senjata, tapi hati mereka senantiasa bersatu padu dalam ketaatan pada Allah, hati mereka senantiasa berpelukan dalam kecintaan kepada Penciptanya.Mereka masih satu payung dalam menegakkan ajaran Islam itu sendiri.

Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah riwayat berikut. Ketika itu, Ali didatangi oleh seseorang yang tiba-tiba bertanya, “ Wahai Khalifah, Apakah orang-orang yang memberontak pemerintahanmu sekarang adalah orang musyrik?” Jawab Ali tenang, “ Bukan. Mereka adalah orang yang lari dari kesyirikan.” Karena tidak puas, orang tersebut melanjutkan tanyanya, “ Apakah mereka ( para pemberontak ) adalah orang-orang munafik?” dengan ketenangan yang tak berkurang dari sebelumnya, 

Ali menjawab tegas, “ Bukan. Karena orang munafik itu sangat sedikit sekali menyebut Allah.” Orang itupun kembali bertanya, “ 

Lalu, siapa mereka?” jawab Ali mengakhiri, “ Mereka adalah orang beriman yang tidak sependapat denganku.”

Sebuah jawaban yang sangat bijak. Potret sejati kepemimpinan dalam Islam. Jika saja yang ditanya bukan Ali, jawabannya pasti akan sangat berlainan. Apalagi ketika kekuasaan telah di tangannya.

Abdullah bin Saba’ sebagai gembong munafik, tidak berhenti menyebarkan fitnah. Sampai kemudian datanglah seorang khawarij bernama Abdullah bin Muljam. Diriwayatkan, ada seorang wanita khawarij yang dilamar oleh Abdullah bin Muljam. 

Wanita tersebut meminta mahar berupa kepala Sang Khalifah – Ali bin Abi Thalib. Maka, ia bergegas untuk mengasah pedangnya selama 40 malam. Sebuah niat keji yang sudah direncanakan dengan sangat baik.

Ketika masa 40 hari itu telah selesai, tibalah malam prahara itu. Malam prahara yang kelak mengantarkan sang khalifah kepada kesyahidan. Malam itu adalah malam 17 Ramadhan.

Seperti biasanya, Sang Khalifah menghabiskan malam dalam ketaatan. Tahajud, dzikir dan muhasabah. Ketika fajar telah menyingsing, beliau keluar rumah. Ketika keluar rumah, beliau mendengar suara gaduh, kokok ayam yang tidak seperti biasanya. Lalu, dengan ketajaman basyirahnya, beliau berkata kepada ayam-ayam tersebut, “Sesungguhnya aku akan menjemput syahid.”

Seketika itu juga, sebuah sabetan pedang menimpa tubuh kekar Sang Khalifah. Sebanyak tiga kali. Sehingga darah benar- benar membasahi sekujur tubuh beliau, sampai jenggot beliau pun berwarna merah karena darah yang membasahi.

Para sahabat pun bergegas menuju kegaduhan itu, maka di amankanlah Sang Khalifah menuju rumahnya, sementara sang pembunuh keji itu diringkus. Ketika melihat jenggotnya bersimbah darah, Sang Khalifah tersenyum sambil berkata, “ Wahai Nabi, janjimu sungguh benar.” Ia mengatakan itu karena teringat dengan sabda nabi ketika beliau masih hidup.

Maka, di hadapkanlah sang pembunuh kepada Ali. Dengan suara kejamnya, sang pembunuh berkata, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari untuk membunuhmu. Dan aku benar-banar telah melakukannya.” Dengan senyum khasnya, sambil menahan sakit karena tebasan pedang, Ali menjawab santai, “ Sesungguhnya, pedang itu tidak membunuhku. Karena kematianku bukan lantaran bacokan pedangmu. Pedang yang telah kau asah itu akan membunuh pengasahnya sendiri.”
 
Khalifah Ali-pun berkata kepada para sahabat yang hadir,” Jika Aku hidup setelah kejadian ini, maka biarkan dia – Abdullah bin Muljam – hidup. Namun, jika Aku mati, maka qishashlah ia dengan pedangnya sendiri.”

Dua hari setelah malam prahara itu, Sang Khalifah terbang. Beliau menemui tiga kekasihnya yang telah lama mendahuluinya : Rasulullah, Abu Bakar Ash Shidiq, Umar Bin Khattab dan Utsman bin Affan. Beliau benar-benar menjemput kematian dengan cara yang terindah : Syahid.

Ali bin Abi Thalib, adalah pribadi agung. Ia adalah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ali adalah menantu Nabi. Bahkan, ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman melamar Fathimah-anak nabi-, beliau menolak ke-tiganya karena nabi ingin menikahkan Fathimah dengan Ali. Nabi adalah gudang ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbang untuk memasuki gudang tersebut. 

Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda, “ Siapa yang memusuhi Ali, maka ia telah memusuhiku. Dan barangsiapa mencintai Ali, maka ia mencintaiku juga.”
Dalam perjalanan kehidupan berislam, kita mendapati dua golongan yang bertolak belakang dalam menyikapi Ali. Ada yang mengagungkan Ali secara membabi buta, golongan ini adalah Syi’ah. 

Adapula golongan yang sangat membenci Ali secara berlebihan yaitu Khawarij. Maka, yang terbaik adalah golongan Ahlussunah Wa Jama’ah : Yang menempatkan Ali sesuai kapasitasnya. Sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah ke-empat umat ini dengan segala kelebihan juga kekurangannya sebagai manusia biasa.

Baca juga : Penyebab kemunduran Islam yang ternyata bagian dari Grand design barat dalam menghancurkan Islam

Berkat keperwiraannya, Ali dijuluki “Ashadullah” yang artinya ‘Singa Allah. Beliau tegas,  tidak segan-segan mengganti pejabat Gubernur yang dinilainya tidak becus mengurusi kepentingan umat islam. Ali wafat karena dibunuh oleh Ibnu Muljam dari golongan Khawarij.
Jasa-jasa Ali bin Abu Thalib diantaranya:
Mengganti beberapa gubernur yang diangkat oleh Khalifah Utsman karena semata-mata hubungan kekerabatan, bukan atas kemampuan. Tindakan ini menimbulkan dampak terpecahnya tiga golongan, yaitu golongan Ali, golongan Aisyah dan golongan Zubair bin Thalhah. perselisihan antara Ali dan Aisyahmenyebabkan perang Jamal. selain itu terjadi perang Shiffin yang melibatkan lebih banyak pihak. akibat perang Shiffin muncullah golongan Khawarij dan Syiah.

Menarik kembali tanah milik negara dan harta baitul maal yang dibagikan kepada pejabat gubernur, dan mengembalikan fungsinya untuk kepentingan negara dan kaum lemah;
 
Memerintahkan kepada Abul Aswad Ad duali untuk mengarang buku tentang pokok-pokok ilmu Nahwu (Qaidah Nahwiyah) untuk mempermudah orang membaca dan memahami sumber ajaran islam;

 
Membangun kota Kuffah yang kemudian dijadikan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Nahwu, tafsir, dan hadits.


Ali bin Abu Thalib juga terkenal dengan pedang mata duanya yang di dapatkan dari pamannya yaitu Nabi Muhammad SAW.

Dengan pedang ini beliau memimpin pasukan islam dalam berjihad menegakkan kalimat tauhid.

Tidak ada komentar

Copyright © . Lemahireng Info All Right Reserved -
Diberdayakan oleh Blogger.