Meskipun Persekutuan Gereja Minta Maaf tetapi luka mendalam bagi umat islam

Meskipun pihak yang mengatasnamakan PGI atau Persekutuan Gereja-gereja se Indonesia meminta maaf secara terbuka tetapi masih saja luka mendalam bagi umat islam,atas aksi penyerangan gerombolan massa GIDI di Papua.
Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama, Odhita R Hutabarat mengatakan, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) meminta maaf secara terbuka kepada Umat Muslim Indonesia pada Sabtu (18/7). PGI akan memberikan keterangan kasus Tolikara sekaligus menyampaikan permintaan maafnya melewati media.
"Tentang peristiwa itu, kita minta PGI untuk memberikan keterangan dan menyampaikan maaf kepada umat Islam lewat pers," kata Odhita lewat siaran persnya pada Republika, Jumat (17/7).

Baca juga : Bukan terbakar tetapi masjid di papua sengaja di bakar massa gereja Injili


Menurut dia, pihaknya sudah mengambil langkah untuk menyelesaikan kasus pembakaran masjid di Tolikara, Wamena Papua pada Jumat (17/7). Ia juga mengaku sudah menghubungi Ketua Sinode Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) untuk menjelaskan surat larangan shalat Ied yang sudah beredar di media massa tersebut. "Kita sudah menghubungi Sinode GIDI untuk berikan penjelasan kronologi kejadian," katanya. 

Dia juga meminta GIDI sebagai pelaku dalam peristiwa itu mengirimkan surat permohonan maaf kepada umat Islam lewat Kemenag. GIDI, kata Odhita, akan segera mengirim surat itu secepatnya melalui emailnya dan akan disampaikan kepada umat Islam di Indonesia.

Bukan saja GIDI, induk organisasinya yaitu Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII) juga diajak ikut serta menyelesaikan kasus itu. PGLII diharapkannya segera mengambil langkah strategis untuk menyikapi peristiwaa Tolikara dan ikut menyampaikan permintaan maaf pada umat Islam. 

Atas nama umat kristen, Odhita menyatakan keprihatinannya kepada umat Islam di Tolikara. Apalagi kejadian itu terjadi saat hari kemenangan bagi umat Islam, khususnya di Papua. Ia berharap kasus Tolikara itu dapat diselesaikan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

"Atas nama pemerintah kami mohon maaf atas peristiwa yang melukai hati umat Islam yang juga saudara-saudara kami," kata Odhita meminta maaf.

Seperti diketahui, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan inti persoalan adalah jemaat Nasrani yang merasa terganggu dengan speaker masjid umat Muslim yang akan melakukan Shalat Ied. Umat Nasrani mengklaim suara speaker yang dipasang di tengah lapangan menggangu ketenangan umum.


Baca juga : 180-derajat-beda-sikap-antara-gp-ansor dan Fpi terkait pembakaran Masjid di Papua


Mereka meminta umat Muslim untuk membubarkan kegiatan Shalat Ied tersebut. Hal itu berujung pada perang mulut antara kedua kubu. Kelompok Nasrani kemudian melempari masjid dengan api hingga terbakar. Bukan saja itu, sejumlah kios dan rumah ikut terbakar.


Aliansi Alim Ulama Indonesia Minta Oknum GIDI Ditindak

Sedangkan Presidium Aliansi Alim Ulama Indonesia (AAUI) meminta Dewan Gereja Indonesia menindak tegas oknum pengurus Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang melarang pelaksanaan shalat Ied dan memicu insiden pembakaran masjid di Tolikara, Papua.

“Kami meminta Dewan Gereja Indonesia memanggil pengurus GIDI, minta pertanggungjawaban atas suratnya, kemudian memberi sanksi tegas terhadap oknum pengurus GIDI dan menyerahkan mereka ke pihak yang berwajib,” kata Ketua Presidium AAUI, KH Shohibul Faroji Azmatkhan dalam rilis yang diterima Republika, Jumat (17/7).

Ia mengimbau kepada tokoh-tokoh Islam, Kristen, dan agama-agama lain supaya mengedepankan kerukunan antar umat beragama dan menjaga toleransi beragama. Toleransi tersebut penting dalam rangka menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang beradab dan berkemanusiaan.

Selain itu, ia juga meminta majelis agama dan para tokoh Kristen serius mendidik umat supaya menghargai hukum dan toleransi yang telah diberikan oleh kaum Muslim.


Diketahui, perayaan shalat Idul Fitri di Tolikara pagi tadi berujung ricuh setelah sekelompok massa melempari jamaah dengan batu. Tak tanggung-tanggung, massa dari Gereja Injili di Indonesia ini membakar masjid dan beberapa kios di sekitarnya.(Republika)

Sedangkan Imam Besar FPI, Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab, menyoroti dengan sangat serius 


Pernyataan Sikap Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Pdt. Dorman Wandikmbo, dari Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua tentang Peristiwa Idul Fithri Berdarah di Tolikara.

Imam Besar FPI menyatakan : "GIDI hanya sekedar prihatin dan menyesal serta minta maaf soal pembakaran kios, dan sama sekali TIDAK MINTA MAAF ATAS PEMBAKARAN MASJID, bahkan dengan tanpa punya rasa malu secara terang-terangan membela dan membenarkan apa yang dilakukan Gerombolan Kristen Radikal Perusuh, sekaligus berkelit tentang Larangan Pelaksanaan Shalat Idul Fithri dan Pelarangan Jilbab yang nyata-nyata dikeluarkan secara tertulis oleh GIDI pada tanggal 11 Juli 2015."

Lalu Habib Rizieq menyindir bahwa GIDI terinspirasi dengan celotehan Wakil Presiden JK : "GIDI pun bersembunyi di balik celotehan bodoh  JK bahwa itu hanya persoalan SPEAKER, padahal sejak dulu di Tolikara tak satu pun Masjid dan Musholla yang gunakan speaker karena memang dilarang, dan dalam Surat Edaran GIDI tertanggal 11 Juli 2015 pun tak disebutkan sama sekali soal speaker. Jangankan speaker, bahkan sudah sejak lama GIDI melarang pemasangan Papan Nama Masjid dan Musholla di seluruh wilayah Tolikara."

Selain itu, Habib Rizieq menepis upaya GIDI mengerdilkan masalah : "GIDI pun berusaha mengerdilkan masalah, dari Masjid jadi Musholla, dan dari pembakaran Masjid jadi pembakaran kios saja, serta dari Larangan Shalat Idul Fithri jadi Larangan Speaker, bahkan dari penyerang kini mengaku sebagai korban yang diserang aparat. Kemudian melemparkan kesalahan kepada aparat keamanan. Dasar tidak tahu diri !!!”

Selanjutnya Habib Rizieq memberi ultimatum : "Jika GIDI ngotot tidak mau meminta maaf secara terbuka dan tidak juga mau menyadari kesalahannya, maka saya serukan kepada segenap umat Islam untuk tutup semua GEREJA GIDI dan turunkan semua plank nama GIDI dimana pun di seluruh Nusantara, dan larang Jemaat GIDI menggunakan atribut kristen dalam bentuk apa pun, termasuk SALIB. Usir mereka dari setiap perkampungan muslim. Dan kejar para pentolan GIDI untuk diberi pelajaran agar mereka tahu arti NKRI, dan paham makna Bhinneka Tunggal Ika, serta mengerti ketegasan umat Islam saat diganggu dan dizalimi."

Intimidasi dan teror terhadap Muslim Papua selama puluhan tahun

 Pada 1990-an beberapa orang tua dari warga asli Papua, di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya memeluk agama Islam, kemudian ditangkap dan dipenjarakan karena berusaha membangun mushola. Bahkan, sebetulnya hal itu sudah terjadi sejak 1970-an.
Demikian dikatakan salah satu warga dari Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Hamka Yeni Pele saat rombongan TPF Komat Tolikara bersama anggota JITU bersilaturahmi serta berkoordinasi di rumah putra kepala suku Dani, H. Arif Lani, di Kabupaten Jayawijaya, ibukota Wamena, Rabu (22/07/2015) malam.
“Termasuk bapak saya sendiri, waktu itu. Alasan mereka masuk Islam karena itu sebuah pilihan. Jadi, sebetulnya tidak ada masalah bagi yang mau memeluk agama Islam,” ungkap Hamka.
Sekitar 2003-an, kata Hamka lagi, orang tua juga ada wacana ingin membangun mushola di Distrik Walesi setelah tahun-tahun sebelumnya belum pernah berhasil. Tetapi, lanjutnya, hal serupa itu juga terjadi sebagaimana tahun 1990-an tersebut, yakni mereka juga ditangkap dan dipenjarakan.
“Itu kondisi di sana. Sejak 2003 sampai detik ini, kami belum punya tempat ibadah semacam itu,” ungkap Hamka.
Hamka menegaskan bahwa setiap hari minggu di mana umat GIDI sedang beribadah maka seluruh aktifitas perekonomian warga harus dihentikan sementara seperti kios-kios harus ditutup.
“Memang kondisinya seperti itu. Itu tidak hanya berlaku di Kabupaten Jayawiya, tetapi berlaku juga di Kabupaten Jayapura,” tegas Hamka.
Hamka menambahkan bahwa untuk Kabupaten Jayawijaya kondisi seperti itu berlaku sejak pagi hingga pukul 17.00 WIT. Sementara, lanjutnya, untuk Kabupaten Jayapura berlaku sejak pagi hingga pukul 12.00 WIT.
“Pukul 13.00, di mana orang pulang ibadah dari gereja. Setelah itu, aktifitas perekonomian boleh dilakukan. Dan itu akan merambah ke kabupaten lainnya di Papua,” kata Hamka.
Bahkan, lanjutnya, di beberapa daerah seperti di Lanijaya (salah satu kabupaten hasil pemekaran di wilayah Papua,red), itu pembangunan masjid tidak pernah diperbolehkan sama sekali.
“Kami tidak boleh membangun masjid. Mereka (non-muslim,red) bilang ‘kalau umat Islam mau beribadah cukup di rumah-rumah saja’. Semacam itulah yang kami alami di sini,” tandas Hamka.*(www.arrahmah.com)

Tidak ada komentar

Copyright © . Lemahireng Info All Right Reserved -
Diberdayakan oleh Blogger.